Sejarah Agama islam di Indonesia | Kerajaan Aceh Darussalam

Sejarah Islam, Kesultanan aceh berdiri pada tahun 1514, terletak di ujung utara pulau Sumatra. Pendirinya adalah sultan Ali Mughayat Syah yang bertakhta dari tahun 1514 – 1530. Pada tahun 1520, beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara Sumatra. Dalam sejarah ini Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time Pires belum mengenal islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikannya banyak pelabuhan. Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukan oleh sultan Ali Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisun POrtugis dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat penyebrangan terhadap Aru (1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh Armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di kawasan itu, aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh diperluas sampai Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang, dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan kelanjutan dari kesultanan Samudra pasai yang hancur pada abad ke 14.
Ada beberapa versi sejarah lain mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh Darusalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah oleh Sultan Muzaffar Syah (Pidie) dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Suatu saat pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus Salatin, kitab kronik raja-raja aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat kesultanan adalah . Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.

Kisah para Cuak

“Revenge is a kind of wild justice” Balas dendam adalah peradilan liar, kata Bacon
Wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.

Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.

Cut Ali Mualim Para Panglima

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang.

Allah adalah pelindung saya.

Tiada tuhan melainkan Allah,

Malaikat-malaikat Jibril, Mikail, dan israfil

Berada pada tanga kanan dan tangan kiri saya

Dimuka, di belakang, di atas, dan di bawah saya.

Saya dikelilingi oleh kesaksian

Tiada tuhan selain Allah,

Saya pergi dengan kasih sayang Allah,

Yang menyebabkanku berhasil dalam alam ghaib

Tuhanku adalah Allah.

Itulah sepenggal kutipan doa Cut Ali, seorang pejuang Aceh yang tangguh, yang berperang melawan Belanda. Sebagai salah seorang panglima dari pejuan Aceh, ia memiliki kemampuan ghaib dengan doa-doanya kepada Allah. Doa-doa religius yang menyelamatkanya dari serangkaian pertempuran.Namun sebagai manusia biasa, Cut Ali juga harus menuai ajal.

Pada Mei 1872, pimpinan besar barisan perlawanan Aceh di pesisir barat itu syahid, setelah ditembak seorang marsose Belanda bernama Gosenson dalam sebuah pertempuran.Cut Ali merupakan spirit perjuangan yang tiada tara. Dalam tahun 1925, di pesisir Barat terjadi huru-hara. Huru-hara itu bermula dari daerah-daerah di bagian selatan, yang saat itu dikuasi Belanda. Namun dengan tak tik gerilya yang diterapkan Cut Ali, ia berhasil membuat ketegangan dipihak Belanda kala itu.

Ketegangan yang oleh penulis Belanda, H C Zentgraaf disebutkan hampir-hampir tak terpikulkan.Sementara dalam tahun 1924, perlawann-perlawanan itu juga terjadi di daerah selatan. Sehingga dalam setiap keude (pasar-red) orang menjadi sangat hati-hati berbicara soal perang. Sementara di malam hari, penduduk disibuki dengan membaca kitab-kitab suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi Belanda.

Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”Patroli-patroli Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan sering diseragap kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam.

“Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang,dan di sini, senjata khas adalah kelewang alias”peudeueng” yang panjang,pedang Turki. Seseorang yangnberopleh hadiah dengan sabetan “sabet atas’(how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis Zentgraaff.Penduduk yang berada di daerah Utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan dan senapang kuno (donder bus), dan hal itu disebabkan karena daerah itu keadaannya datar, sehingga memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan dalam jarak jauh, setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan senjata api itu bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang, terutama orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.Di daerah pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan hutan-hutan, haruslah cara bertempurnya berbeda.

Tanah yang kasatr dan begunung-gunung ini kebenyakan punya ciri-ciri penyergapan yang khas secara mendadak dari tempat-tempat tersembunyi terhadap pasukan-pasukan patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat fanatisme yang harus kita hormati,” puji Zentgraaff.sementara di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai Zentgraaf lebih berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda.

Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh sepenuhnya.Zentgraaff juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi itu pula yang menjadi momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan elit belanda, marsose jatuh karena keberanian-keberanian pejuang Aceh. Ia menulis. “Demkianlah, mereka adalah sangat berbahaya terutama bagi serdadu-serdadu kita yang muda-muda.

Apabila serombongan musuh yang seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang berwarna hitam, dengan peudeueng panjang yang diayunkan, sambil berteriak menghambur kepada pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka sungguh besar kemerosotan moril serdadu-serdadau kita yang muda-muda, sebagaimana yang kita alami sebagai kerugian kita.”Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.Di Bakongan, terdapat batu nisan kembar, dari atas ke bawah, dan dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama serdadu-serdadu yang tewas pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner dalam tahun 1905. Pasukan patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris menuju berbagai arah.

Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yangsatu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.Pada serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir Barat tersebut, misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan belanda itu tewas.

Lima belas pucuk karaben pasukan belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.Demikian pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris, karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka pejuang Aceh memanfaatkan kesempatan itu di Sape. “Kita masih ingat akan kejadian yang malang itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua prajuritnya tewas, dan berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang dalam keadaan luka parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa klecil dari pasukan itu dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,” tulis Zentgraaff.Setiap kekeliruan pasukan belanda itu, harus ditebus dengan darah. Pada tahun 1962, Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan.

”Ia merupakan suatu daftar nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan mengerikan bagi belanda. “Dan, melebihi segala serangan kelewang tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian menentang maut yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam sejarah Aceh.” Jelas Zentrgaaff.Untuk memburu gerilyawan Cut Ali, Belanda terus mengirim opsir-opsirnya ke Aceh, yakni panglima-panglima marsose kawakan ke daerah pesisir barat. Diantara opsir adalah Snell dan Gesenson. Snell kemudian berhasil mengendus tempat gerilyawan Cut Ali. Ia pun kemudian berangkan dengan kekuatan pasukan delapan brigade.Dalam penyergapan besar-besaran itu, pasukan Snell berhasil menewaskan salah seorang panglima bernama Teungku Maulud, serta merampas tujuh pucuk karaben dari pejuang Aceh.

Meskipun demikian, pertarungan masih jauh dari selesai, Cut Ali sudah sembuh kembali, dan rakyat tetap bersemangat untuk bergabung kepadanya serta para penglimanya.Musibah yang telah menimpa pasukan patroli pimpinan komandan Paris yang bergerak secara ceroboh itu, sudah menjadi buah bibir, pengaruhnya amat besar pada barisan pejuang Aceh. Tetapi pasukan Cut Ali tidak begitu berhasil menghadapi pasukan patroli pimpinan Batten, yang telah memberikan perlawanan tangguh dan tidak kehilangan satu pun senapang karabennya, walaupun banyak serdadu yang menderita luka.

“Pihak lawan menderita 10 orang tewas. Lebih buruk lagi keadaan yang mereka alami tak kala menyergap pasukan patroli pimpinan komandan Klaar, yang memberikan tangkisan sengit serta bertarung dengan cemerlang, sehingga Letnan Klaar menerima tanda jasa nya,” tulis HC zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya menjadi wartawan.Pada Mei dan Juni 1926, penduduk Trumon bersikap sangat menantang, dan keadaan menampakkan bahwa masih banyak darah akan mengalir. Inti perlawanan itu, dipimpin Cut Ali, yang kembali mengobarkan semangat perang.

Nafsu untuk mengadakan petualangan perang berkobar di mana-mana, dan rombongan-rombongan anak-anak muda yang hanya bersenjatakan tajam belaka berani-berani menyerbu karaben-karaben pasukan-pasukan Belanda.Zentgraaff menggambarkan Cut Ali sebagai seorang tokoh jantan berwatak, yang memiliki jiwa ksatria, yang membuat lawan pun mengaguminya. Pada masa itu ada seorang Kapten, yang menjadi Komandan sebuah bivak militer di Ladang Rimba, yang tidak punya jiwa militer, serta enggan bertempur.

“Bivak militer itu di suruhnya buat tiga lapis pagar di sekelilingnya, lengkap dengan jalur berisi ranjau-ranjau, sehingga persis keadaannya seperti suatu benteng terpusat, kenangan yang tidak nikmat untuk diingat. Sudah tentulah dia tidak pernah pergi ke luar bivaknya untuk berpatroli, karena takut terhadap pasukan Cut Ali, dan ini tidak baik,” tulis Zentgraaff.

Terhadap sikap perwira Belanda yang dinilai pengecut tersebut, Cut Ali mengirim surat kepadanya. Isi surat itu, menetangnya untuk berkelahi.

“surat-surat tersebut penuh dengan ancaman-ancaman, datang berulang-ulang dan hal ini sungguh memalukan bagi kita,” lanjut Zentgraaff.Tapi Kapten Belanda itu tidak berkutik. Hal itu pula yang membuat wibawa Cut Ali di mata rakyatnya semakin besar. Seluaruh penduduk merasa puas terhadap keberanian Cut Ali yang telah membuat perwira Belanda mengurung diri dalam bivaknya, takut keluar untuk patroli, apalagi berperang secara frontal.Keadaan itu kemudian diketahui oleh perwira Belanda lainnya bernama, Behrens. Ia segera berakat dengan pasukanya ke sana.

Ia memerintahkan agar Pagar bambu yang berlapis-lapis di sekeliling bivak itu untuk dibongkar dan di singkirkan dari sana. Bahrens terus berusah membangkitkan kembali semangat opara marsose di sana, sampai tahun 1926 suasana menjadi normal kembali.Kemudian harinya, ketika Letnan Molenaar, anggota pasukan patroli di bawah Komando Behrens, mati terbunuh pada suatu penyerangan pada malam hari di pekarangan sebuah sekolah di kampung Teureubangan- ini adalah perploncoan bagi Teuku Nago untuk dapat menjadi panglima- dan Behrens bergerak pulang membawa mayat opsir tersebut.Kepadanya kemudian datang seorang penduduk membawa surat Cut Ali. Isi surat itu, “saya berada disini dengan 80 pasukan, dan kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja.

” Surat yang menantang dari Cut Ali membuat Behrens dan anak buahnya berpikir berulang kali untuk memenuhinya. ”Cut Ali betah sekali membuat surat-surat yang demikian; dia selalu menyediakan berbagai macam surat, dan sebagian surat-surat tersebut dapat kita rampas,” jelas Zentgraaff.

Karena tak mampu memburu gerilyawan Cut Ali, pada Juli 1926, Belanda kemudian mengutus kapten Gosenson untuk membantu Behrens. Gosenson ditunjuk sebagai pejabat Kontrolur bagi daerah Aceh Selatan, yakni Kluet dan Trumon. Karena itu Gosenson terlebih dahulu menuju ke Trumon, di mana ia melakukan gerak cepat dalam penumpasan dan dalam tempo yang singkat begitu banyaknya memberikan kemplengan. Ia pun menggunakan orang Aceh sebagai mata-mata untuk memburu gerilyawan Cut Ali. Tapi cuak-cuak itu malah lebih banyak yang ketahuan dan mati di tangan Cut Ali.

Gosenson tak kehabisan akal, ia kemudian membuat seruan, gerilyawan Aceh yang menyerah akan diperlakukan dengan baik. Syaratnya, saat menyerah harus menyerahkan satu kelewang, satu rencong atau tombak. Selanjutnya mereka harus menyerahkan diri menurut adat Aceh.

Ada sebagian gerilyawan Aceh yang menyerah, tapi lebih banyak dari yang menyerah itu hanyalah sebagai alasan jeda sesaat untuk pulang kampung, sebelum kemudian berbelot lagi menentang Belanda. Dalam bulan Juli 1926, rombongan Cut Ali masih melakukan lagi serangan kelewang terhadap pasukan patroli pimpinan Schreuder, tetapi tidak berhasil. Karena pasukan itu tidak mengejar mereka, tetapi bahkan sebaliknya bahkan bergerak pulang, maka Cut Ali merasakan itu sebagai suatu kemenangan baginya.

Dia berdiri di tengah kampung, sambil membuat sikap seolah-olah orang yang memperhatikan sesuatu di kejauhan dengan tangan di atas mata nya, meninjau ke hutan dan berkata, “Ho Ka Kompeuni ? “ (Di mana Kamu Pasukan Kompeuni ?) Ini merupakan lelucon besar dan semua orang senang di buatnya. Seluruh Isi Kampung itu ikut mengajuk bertanya, “Di mana Kamu Kompeuni ?” Hal itu adalah untuk menghina kita, dan Cut Ali adalah orang besar yang selalu banyak humornya. Selama tujuh hari Cut Ali dan masyarakat sekitar mengadakan perayaan di kampung itu. Masakan daging melimpah ruah, semua orang memberikan sumbangan dan ikut berpesta.

Ada seorang perempuan yang sangat tua, rambutnya yang beruban putih terumbai pada wajahnya, keriput dimakan penghidupan yang bekerja keras di ladang, menyeret seekor kambing, satu-satunya yang menjadi miliknya. Dia melakukan sembah dengan hormat kepada Cut Ali sambil berkata, “Nyoe Peuneujoe ulon nibak droeneu teuku ampon.”(“Inilah sumbangan dari saya, pemimpin besar”) Kambing itu kemudian di sembelih dan di buat gulai kambing yang enak. Perempuan tua itu merasa sangat berbahagia, oleh karena hak miliknya satu-satunya itu mendapat berkat pada pemimpin besar yang telah mengalahkan orang-orang Belanda. Setelah pesta itu, Cut Ali dan pasukannya kembali masuk hutan untuk bergerilya, melakukan konsolidasi untuk kemudian kembali melakukan serangan. [iskandar norman]

Pasukan Belanda Juga Pakai Rencong

Marsose saat awal pembentukannya hanyalah pasukan elit Belanda yang ditenpatkan diperbentengan terpusat. Baru setelah dipersenjatai dengan senjata barat dan senjata khas pejuang Aceh, mereka berani bertempur di luar benteng. Melawan orang Aceh dengan senjata yang sama dipakai oleh orang Aceh; kelewang dan rencong plus senapang.

Orang Aceh sangat membenci tentara elit Belanda: Marsose. Malah kepada korp tentara yang sangat beringas itu, Dokarim pengarang hikayat Prang Kompeuni menyebut mereka dengan lakab Majusi yakni kafir nomor tiga setelah nasrani dan yahudi.

Namun pada awal-awal pembentukannya, pasukan marsose lebih banyak berada dalam benteng terpusat ketimbang memburu gerilyawan Aceh. Mereka juga dilarang oleh Gubernur Militer Hindia Belanda untuk melakukan tindakan-tindakan diluar perbentengan terpusat.

Untuk menghadapi kelihaian dan kelicikan gerilyawan Aceh, marsose kemudian dipersenjatakai dengan kombinasi senjata barat dan senjata Aceh untuk menandingi kegesitan pejuang Aceh.

Dalam hikayatnya, Dokarim menggambarkan marsose itu sebagai serdadu-serdadu yang sombong dan congkak, yang menahan penduduk secara sembrono, menendang serta memukulinya.

Hikayat itu ditulis Dokarim dalam periode perbentengan terpusat. Dimana pasukan Belanda menerpakan pertahanan pada benteng-benteng tertentu untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Pada masa inilah pasukan marsose itu kerap mendapat surat-surat tantangan dari Cut Ali, seorang Panglima Perang Aceh.

Dalam surat-suratnya Cut Ali menentang masrose untuk keluar dari bentengnya untuk berperang dengan gerilyawan pejuang Aceh. Seperti pada tahun 1926 Cut Ali mengirim surat ke pada komandan marose di Bivak Ladang Rimba, Behrens. “Saya berada disini dengan 80 pasukan, dan kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja.” Tulis Cut Ali dalam surat tantangannya itu.

Dalam perbentengan terpusat itu, korps marsose sebagai pasukan yang baru dibentuk tidak dapat bergerak. Mereka lebih banyak diinstruksikan untuk bertahan secara hati-hati. Adalah Kapten Notten komandan pertama marsose. Pasukan elit ini dilengkapi dengan persenjataan gabungan senjata barat dan senjata orang-orang timur.

Malah ada juga korp marsose yang memakai pedang dan rencong, untuk menandingi kegesitan gerilayawan Aceh. “Begitulah para opsir rendah serta bawahan diberikan senapang-senapang karaben, tetapi juga kelewang dan rencong Aceh.

Pada gambar foto yang menghiasi bagian tulisan inidapat dilihat rencong dalam sarungnya tersisip di pinggang mereka,” tulis H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh”.

Bila sebelumnya tentara bayaran Belanda, baik yang didatankan dari Eropa maupun dari Jawa ke Aceh, banyak yang tidak memakai sepatu, sehingga dalam perang-perang di lereng-lereng bukit atau pegunungan sering kwalahan dan kalah ditangan pejuang Aceh. Hanyalah,kepada fuselier-fuselier Inlader yang kaki-kakinya cacad, atas nasehat dokter, baru diberikan memakai sepatu.Pada waktu itu bagian pasukan infantri Belanda yang terdiri dari inlander tidaklah bersepatu, suatu pasukan infantri sering berbaris dengan kaki telanjang.

Menyadari hal tersebut, Belanda kemudian memberikan seragam khusus lengkap dengan sepatu kepada pasukan marsose sebagai pasukan khusus. Marsose-marsose suku Jawa diberikan sepatu.Keputusan itu diambil setelah banyaknya marsose yang mengalami sekarat karena kakinya sering kenak bambu-bambu runcing yang dijadikan sebagai ranjau di jalan-jalan setapak oleh gerilyawan Aceh. “Bagaimana serdadau-serdadau infanteri seperti itu harus bergerak di yang medan peran, yang kadang-kadang harus melewati tempat-tempat yang dipenuhi ranjau (bambu-bambu yang diruncingkan dan ujungnya dikerakan dengan cara dibakar, kemudian ditanam separonya di dalam tanah) sebelum mereka dapat menyerbu pertahanan lahan.

Hal itu sampai sekarang masih tetap menjadi teka-teki bagi kita,” lanjut Zentgraaff.Dengan persenjataan yang tergolong elit waktu itu, serta seragam yang gagah, menurut Zentgraaff telah mampu mendongkrak semangat pasukan Belanda. Tapi meskipun demikian pasukan marsose yang baru dibentuk tersebut walaupun dalam pergerakannya sangat ofensip, mereka tetap tertahan dalam gerak memburu pasukan Aceh. “Mereka tertahan dengan pemikiran waktu itu, yakni sabar menunggu sampai pasukan Aceh datang mendekat,” jelas Zentgraaff.

Zentgraaff pun kemudian mengutip sebuah catatan tentang marsose dalam buku kapten Struijvenberg. Dalam buku itu Struijvenberg menulis bahwa pada suatu malam seorang komandan brigade marsose masuk sedikit daerah yang dikuasai gerilyawan Aceh. Perang pun pecah.

Kapten Notten sebagai komandan marsose menegur dengan tegas opsir yang masuk dan bereprang dalam wilayah kekuasaan gerilayawan Aceh itu. Malah opsir itu kemudan dituntut karena mengambil tindakan sendiri-sendiri yang sangat membahayakan pasukan Belanda. “Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh dicela dengan keras, karena menuntut dia. Hal itu tidak pantas untuk dipuji, melainkan diberi hukuman,” tulis Zentgraaff.

Dalam tiga pucuk surat dari Gubernur Militer Hindia Belanda kepada komandan paskan, masing-masing tertanggal 10 September, 26 Oktober dan 21 Desember 1892 disebutkan “ Dalam hubungannya dengan tugas-tugas yang dibebankan kepad korps Marsose, haruslah ada suatu pengecualian yang besar, dimana para komandan brigade pergi ke luar pertahanan, untuk megadakan pengintaian-penginataian, atau untuk melakukan pekerjaan apa saja! Bepergian keluar benteng lebih-lebih tidak dibenarkan karena para komandan brigade, dan biasanya para opsir bawahan yang melakukannya, yang berdasarkan pengalaman, biasanya dikerjakan untuk membuktikan suatu tindak kepahlawanan, sedangkan hasilnya seringkali sangat tidak memadai,” tulis Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh.

Sementara dalam surat tanggal 26 Oktober 1892 disebutkan bahwa kepada para marsose tidak dibenarkan mengadakan tindakan ofensip di luar benteng dengan cara membuat jebakan maupun dengan melakukan patroli-patroli.Sementara diakhir surat tanggal 21 Desember 1892 diterangkan bahwa berdadsarkan surat rahasia dari Departemen Peperangan (Departemen van Oorlog) Afdeling VII, tanggal 9 Desember 1892 nomor 814, ditetapkan bahwa kegiatan diluar benteng terpusat tidak dibenarkan.

Kemudian pada penghujung tahun 1895, Kapten Graafland diangkat menjadi Komandan Korp Marsose menggantikan Kapten Notten. Dibawah pimpinan Graafland marsose sedikit demi sedikit bisa keluar dari perbentengan terpusat dan berperang di laur benteng dengan gerilyawan Aceh. [Iskandar Norman]

Sponsors

Select Interface Language:


Webs Traffic Rank

Links

  • WordPress Planet

Sinema Indo – Ketika Cinta Bertasbih 2

Klikk Disini Untuk Nonton

Possibly Related Posts:


Gaya Hidup/Kesihatan

Waspada! 30 Penyakit Akibat Pemanasan Global

BERDASARKAN Data Organisasi Kesehatan dunia (WHO) tercatat ada sebanyak 30 penyakit baru yang muncul sepanjang tahun 1976-2008 akibat perubahan iklim dan pemanasan global.

Munculnya penyakit ini akibat temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat. Yang paling jelas kelihatan adalah penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan. Menurut WHO, masalah kesehatan akibat pemanasan global ini lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.

Terbanyak Dibaca