7
February , 2009
Saturday

History Of Aceh And About Aceh

Travel,aceh,atjeh,pa,Gam,Tna,arun,sejarah aceh

ASAL MULA malapetaka itu berawal dari Maklumat Loudon, pejabat tinggi Belanda yang memproklamirkan perang terhadap ...
BANDA ACEH-Juara Kompetisi K-Liga Primer 2008-2009, Maret mendatang, rencananya akan dipertemukan dengan juara Divisi Utama ...
Ketua MPR Hidayat Nurwahid tentu berniat baik ketika melontarkan usul agar Majelis Ulama Indonesia ...
Informasi Kontak alamat / lokasi Jl. Moh. Jam No.68, Banda Aceh telp. 0651-32922 Kabupaten Kota Banda Aceh
Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak ...
BANDA ACEH - Setelah menjalani libur panjang, Persiraja kembali memulai latihan untuk persiapan menyonsong putaran ...
Banda Aceh-Pemerintah Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Senin (5/1) kembali bertemu di Finlandia dalam ...
NANGGROE ACEH DARUSSALAM   Provinsi NAD memiliki banyak aspek potensial, salah satu di antaranya adalah pariwisata. Sejarah ...
Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai mufti Kerajaan Aceh. Sebelum jabataban sebagai penasehat agung kerajaan ...
Sekelompok manusia perahu yang terdiri dari sekitar 200 orang berhasil diselamatkan dari atas perahu kayu ...

Archive for January, 2009

Ratusan ‘Manusia Perahu’ Terdampar di Sabang

Posted by Aceh-Online On January - 8 - 2009 ADD COMMENTS

Sabang | Harian Aceh—Sedikitnya 193 orang warga Miyanmar dan Banglades terdampar di Pulo Rondo, lepas pantai Sabang, Rabu (7/1). Para ‘manusia perahu’ itu sempat terombang-ambing sekitar seminggu di tengah laut, sehingga kondisi mereka lemas.

 

Ratusan manusia perahu saat dievakuasi ke dermaga Lanal Sabang, kemarin.

Kapal kayu berukuran sekitar 3 x 10 meter yang mengangkut ratusan WNA itu pertama kali diketahui berdasarkan informasi Ujang, nelayan asal Kelurahan Ie Meulee.  Saat mencari ikan di sekitar Pulo Rondo dengan bot tep-tep miliknya, Ujang melihat sebuah kapal terapung-apung di tengah laut. Dia langsung memberihukan hal itu kepada Panglima Laot Lhok Ie Meulee, Pak Pelak melalui sambungan telepon seluler.

 

 

Informasi itu diteruskan kepada anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Sabang. Selanjutnya, anggota RAPI bersama PMI, Tagana dan TNI AL Sabang dibantu para nelayan setempat mengavaluasi ratusan manusia perahu itu ke dermaga Lanal Sabang.

Komandan Lanal Sabang Kolonel Laut (E) Januar Handwiono mengatakan pihaknya sebenarnya sudah mendeteksi adanya para pengungsi Myanmar melalui Pos Radar TNI AL pada Rabu dini hari.

“Dari 193 warga Myanmar dan Banglades tersebut, 113 orang di antaranya ditempatkan di penampungan sementara di Dermaga Lanal Sabang. Sedangkan 43 orang dievakuasi ke RSU Sabang dan 37 orang lagi ke Rumah Sakit TNI AL Sabang, karena kondisinya sangat kritis. Mereka memerlukan perawatan secara intensif,” jelasnya.

 

Sebagian mereka terkapar lemas setelah seminggu terombang-ambing di laut lepas. (foto foto Harian Aceh | EMK Munthadir

Kata dia, sejauh ini pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Pemko Sabang, kepala imigrasi, PMI, Polres, Kodim, dan pihak terkait lainnya di Sabang untuk mengambil langkah-langkah bantuan penanggulangan kemanusiaan kepada ratusan manusia perahu itu.

 

Menurut penjelasan salah seorang dari mereka yang mampu berbahasa Inggris, mereka berasal dari Myanmar dan Banglades. Dalam pelayaran, kapal yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin sehingga sempat terbawa ke perairan Thailand.

“Saat dalam perjalanan yang terombang-ambing di laut lepas, tujuh orang dari mereka meninggal di tengah laut hingga akhirnya mereka ditemukan oleh nelayan di sekitar Pulo Rondo,” sebut Januar Handwiono, mengutip pengakuan seorang WN Myanmar. 

Danlanal mengaku belum mengetahui tujuan ratusan WNA tersebut karena kondisi fisik mereka masih sangat memprihatinkan, sehingga sulit berkomunikasi.

Sementara Wakil Walikota Sabang Islamuddin yang meninjau langsung warga Myanmar di penampungan sementara Dermaga Lanal Sabang mengatakan pihaknya telah memberikan bantuan untuk mengembalikan kestabilan mereka. “Untuk tahap awal kita memberikan bantuan kemanusiaan seperti bantuan medis dan logistik,” ujarnya.

Pantauan Harian Aceh di dermaga Lanal dan RSU Sabang, bantuan kemanusiaan juga mengalir dari warga setempat. Ratusan warga Sabang terus memberikan bantuan kepada 193 warga Myanmar dan Banglades itu berupa nasi, makanan ringan, sabun, odol, handuk, pakaian, dan lainnya.(mta)

Peradaban Aceh Bak Oase Gurun Sahara

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

Setiap bangsa di belahan bumi Allah ini memiliki peradaban atau budaya tersendiri, hanya tergantung seberapa tinggi nilai dan pengaruhnya. Orang Eropa menganggap peradabannya lebih tingggi dan maju, dan bangsa yang mendiami belahan bumi lainya berperadaban rendah. Sah saja bukan? Sangat tepat! Tergantung siapa penilainya. Begitu juga di nusantara. Namun, tetap saja budaya atau peradaban setiap bangsa sama tingginya seiring dengan perjalanan waktu, kondisi dan tempat komunitas tersebut berada.

[Teluk Sabang (Image Ist)] Budaya, secara harfiah merupakan buah pikiran, akal budi senantiasa berproses dan berinteraksi antara manusia dengan lingkungan serta ruang waktu, pada muaranya nanti akan menghasilkan kebiasaan, karya, karsa ideal yang menjangkau antar generasi dan dimensi. Setelah mengalami berbagai proses, hasil budaya itu dapat dinikmati, bermanfaat dan menjadi acuan standar harkat dan martabat suatu bangsa dalam membangun peradaban (civilization).
Masyarakat Aceh sampai kini sangat kuat dipengaruhi keagungan dan keemasan masa lampau itu. Zaman keemasan kesultanan masa lalu diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Aceh, seperti bagaimana hebatnya Sultan Iskandar Muda mempertahankan adat, sehingga lahir hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat keuh tamita”.
Aceh bermata uang emas dan mahir dalam bidang perdagangan. Hal itu selalu menggelitik memori kolektif masyarakat Aceh tentang bagaimana mengembalikan kejayaan Aceh masa lampau. Aceh mempunyai heroisme tersendiri, penduduk Aceh di zaman kebesaran Kesultanan Samudera Pasai dengan penduduknya sekitar 40.000-50.000, yang sebagiannya pendatang dari India Selatan, seperti daerah Madras, Bombai, dan Sri Lanka, lalu berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Karakter penduduk Aceh banyak kesamaan dengan India, mengakibatkan budaya Aceh tidak bisa disamakan dengan budaya Melayu Raya secara keseluruhan.
Adat Aceh sebagai aspek peradaban yang tidak identik dalam pemahaman budaya pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama atau syariat yang menjiwai kreasi budayanya. Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut.Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk hadih Maja, “Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana”.
Po Teumeureuhom, lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala, lambang hukum syari‘at atau agama dari ulama. Qanun, perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi. Reusam merupakan tatanan protokuler atau seremonial adat istiadat dari ahli-ahli atau pemangku adat. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini mengacu kepada sumber asas yaitu, “hukum ngon Adat, lagee zat ngon Sifeut “Mengacu pada hadih maja ini maka budaya mengandung dua sumber nilai, yaitu, pertama, nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi. Kedua, nilai normatif atau prilaku hukum adat, yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran. Karena istiqamah dan konsisten dengan nilai-nilai filosofis hadih maja ini, maka implimentasi budaya Aceh telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Aceh untuk diperhitungkan oleh dunia internasional yang bertitik sentral pengembangan pada meunasah dan mesjid.
Budaya adat Aceh sarat nilai-nilai Islami, sehingga dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara lain, setia kepada aqidah Islami, bersifat universal atau tidak ada pertentangan antar agama, bangsa dan suku, kebersamaan, gotong royong, panut kepada pemimpin, cerdas membaca dan menulis.Pertumbuhan budaya adat Aceh, menghadapi tantangan rongrongan budaya global (globalisasi), maka wujud budaya idealis akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram dan terstruktur.
E.B.Taylor dalam bukunya: Primitive Culture, Boston, 1871, menjelaskan Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang dalam lingkungan masyarakat di mana dia berada. Abidin Hasyim bilang, kebudayaan Aceh telah menemukan identitasnya yang bernafas keislaman, bahkan telah mengakar. Sistem tatanan nilailah yang menjadi tolak ukur penyaringan dan pembendungan pengaruh baru dari luar, dan dengan sendirinya terjadi proses pemilahan mana yang bisa diterima dan mana tidak di kalangan masyarakat Aceh.Nilai-nilai Islami masyarakat dalam menghadapi pengaruh modernisasi bukanlah pertentangan antara keislaman tradisional dengan dunia nan modern, sebab Islam tidak berwatak tradisional, karena padanya terkandung pula unsur-unsur multi dimensi.
Soejito Sastrodiharjo, dalam tulisannya “Hukum Adat dan Realitas Penghidupan” yang selaras dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan nilai itu merupakan “a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat yang bersifat abstrak, misalnya, nilai kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain.Sedangkan nilai sekunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan kepadatan penduduk yang sedang dihadapi, namun pascakonflik dan tsunami nilai itu harus diabaikan masyarakat Aceh, karena penduduk lokal semakin berkuarang populasinya.Nilai sekunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Misalnya saja kemajuan yang dicapai oleh Jepang sekarang ini disebabkan karena pemerintah Jepang berhasil mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai sekundernya (M. Syamsuddin, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum).
Menggali Kebudayaan AcehBanyak adat istiadat, budaya dan keterampilan masyarakat Aceh yang “tergilas” roda perkembangan zaman, sehingga diperlukan penelusuran kembali. Upaya tersebut sangat penting maknanya bagi keberlangsungan kehidupan budaya Aceh di masa mendatang. Adapun beberapa kebiasan masyarakan Aceh yang harus tetap ada dan lestari, di antaranya, upacara perkawinan, upacara kelahiran bayi yang di dalamnya mencakup cukur rambut, hakikah, turun tanah dan upacara peusijuk (tepung tawar).Saat ini para pemerhati sejarah dan Kebudayaan Aceh mulai gerah dan khawatir dengan semakin memudarnya perhatian masyarakat sendiri terhadap identitas adat dan budaya khas Aceh. Bahkan sebagian menganggap adat dan Bahasa Aceh itu primitif seperti tulisan yang diturunkan situs internet krueng.org.
Bertolak dari kenyataan itu, maka generasi muda sekarang harus memiliki tekad bulat berupaya membentuk watak cinta budaya guna melestarikan dan menghidupkan kembali adat istiadat Aceh yang pernah jaya di masa lampau dengan segala perangkatnya.Peran generasi muda sangat besar untuk menjajaki napak tilas berbagai adat-istiadat yang pernah berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh yang beraneka ragam (diferensiasi) seperti dapat disaksikan dalam berbagai tradisi yang semakin langka saat ini seperti, adapt-istiadat yang terdapat dalam upacara perkawinan, kelahiran bayi, peusijuk, khanduri moulod, khanduri blang, khanduri laot, nuzulul Qur’an, khanduri koh kayee (cah uteun) dan menempati rumah baru, dan lain-lain.Semua kebiasaan itu perlu diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat berkaitan pemberlakuan syariat Islam berdasarkan UU No.44/1999 dan UUPA tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan peranan ulama dalam pemerintah dan adat istiadat.
Banyak bentuk adat budaya yang relevan untuk dikembangkan, seperti ornamen atau kaligrafi, rumah adat, meunasah, kesenian dalail khairat, zikir berdhanji, perhiasan, emas perak, keramik dan ukiran-ukiran di berbagai monumen dan batu nisan.
Dalam bidang seni budaya, masyarakat Aceh juga terdapat banyak jenis tari-tarian yang disenangi penggemarnya baik di Indonesia, bahkan dunia internasional. Tarian yang populer di Aceh antara lain saman Gayo, seudati, rapa’i geleng, tob daboh, didong Gayo, surunei kalee, ranub lampuan, silat dan likok pulo. Jenis tari-tarian sangat populer dalam masyarakat, dan bahkan telah dipromosikan secara nasional dan internasional seperti Malaysia, Jepang, Belanda, Spanyol dan Amerika Serikat di masa pemerintahan Gubernur Ibrahim Hasan.Menduniakan Kembali Peradaban AcehBangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memelihara dan menumbuhkembangkan adat istiadat sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu juga dengan Aceh, dalam tatatan masyarakat yang heterogen seperti ini, maka terdapat dua kawasan yang perlu dicanangkan pengembangan apresiasi adat, di mana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan dalam wilayah adat Gampong dan kawasan Mukim.
Wilayah adat Gampong, kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003) Wilayah adat Mukim, kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, seperti, Berakhlak agamis, kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam. Han lon mate i luwa Islam, ka meunan peusan bak endatu. Nibak mate kaphee, leubeeh get kanjai. Nyang beek sagai cit tuka agama.
Iman ta bina bak khusyu‘ di hate.Berjiwa adatisme, Penampilan prilaku yang adatis dengan forma-forma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. Tasouk bajee bek le ilat, leumah prut pusat leupah gura. Ureung inong miseue boh mamplam, lam on ta pandang mata meucaca. Bertata Etika, budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), di bawah manajemen Geuchik beserta perangkatnya. Phon-phon adat cit jeut keudroe, watee meusahoe sinan meu tata.
Maseng-maseng nanggroe na adat droe, ureung meubudoe (bakoe) nyang atoe cara. Bek keureuleng ngon kheim irot, bek meureubot peupap haba. Bek meututoe jampu carot, bek ngon meudhot sue meutaga.Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik, penuh nilai-nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa. Beungoh seupot beu tamano, peugleih asoe pat-pat nyang reunta. Takoh gukee bak gaki ngon jaroe, peugleih gigoe jeut-jeut kutika. Rumoh tangga beuna ta pakoe, istana droe keurajeun raja. Beu gleh ngon rumoh, bagan beuk kutoe, di leun meu-asoe ngon bungong jeumpa.Pengembangan nilai-nilai sejarah lainya juga bisa jadi berupa, Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, museum alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, museum perikanan, museum kereta api dan lainnya. Tempat-tempat Rekreasi, Membangun pantai-pantai wisata, restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan IslamiMembangun Panggung Festival, Menyediakan sarana festival seni yang bernafaskan Islam, menjadi media dakwah, dalail khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh (klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi, makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen.
Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen. Taman rekreasi sungai AcehMembangun market-market souvenir tradisional, memperbanyak kegiatan bisinis barang dan jasa melalui pasar-pasar souvenir, pakaian adat, kue-kue khas, barang-barang antik, perhiasan, keramik dan pernak-pernik lain-lain.
Budaya Aceh Harus Punya Hak PatenBudaya asli Aceh, baik itu kesenian maupun adat istiadat tradisional yang diwariskan para leluhur harus dipatenkan agar mempunyai kekuatan hukum untuk pengembangkan dan pelestariannya. Pemerintah harus mematenkan seluruh budaya Aceh agar tidak diklaim sebagai milik daerah atau Negara lain. Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat Aceh yang peduli harus segera mencari solusi agar warisan nenek moyang ini dapat dikenal generasi di masa kini dan mendatang sebagai indentitas bangsa yang besar ini.
Proses regenerasi dan transpormasi taradisi ini merupakan upaya pengembangan dan juga dapat dijadikan wadah pembinaan terhadap peradaban Aceh yang kian luntur akibat pengaruh budaya global (globalisasi) yang dipancarkan melalui jaringan berbagai media massa.Munculnya pengaruh budaya asing itu berpotensi terjadi pergeseran nilai yang bersifat kontradiktif dengan adat-istiadat masyarakat setempat. dan hal ini dikhawatirkan berimbas terhadap hilangnya jati diri bangsa, kesenian, adat istiadat dan budaya yang bernafaskan Islam sehingga mewujudkan pembangunan mental manusia Aceh yang tidak sesuai dengan fitrahnya.
Di sisi lain, banyak karya seni dan budaya karya para sastrawan Aceh tempo doeloe kini “hijrah” ke luar negeri, terutama ke negara serumpun Melayu, terutama ke ke Malaysia dan Brunei Darussalam, Philipina, Thailand Selatan dan Singapura. Padahal, karya-karya sastrawan terkenal di masa lalu itu telah memberi andil besar dalam memperkaya seni dan budaya tanah 1001 rencong ini.
Genersi sekarang seharusnya berupaya untuk mengembalikan karya-karya sastra Aceh yang tersebar dari luar negeri. Baik itu berupa naskah-naskah sastranya maupun semangat dan jiwa dari karya sastra tersebut, sehingga dapat dipelajari oleh generasi muda Aceh dimasa sekarang dan mendatang.Apalagi, dengan semangat Islami yang sudah lama terbangun, maka akan menjadikan Aceh sebagai wilayah yang “tamaddun” budaya Islam di abad modern ini. Seandainya generasi sekarang tak banyak yang peduli, maka sampailah Peradaban Aceh pada kehancuran abadi

In Memoriam: Abu Tanoh Abee sang Pewaris Naskah Aceh

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

Almarhum Abu Tanoh Abee sempat mengomentari buku “Khazanah Naskah” karangan Henri-Chambert Loir & Oman Fathurahman yang juga mencakup pencatatan atas naskah-naskah koleksi Dayah Tanoh Abee (January 2005)

Tgk. Abu Dahlan al-Fairussy al-Baghdady (1943-2006):

Pewaris Koleksi Naskah Terbesar di Asia Tenggara

The world probably doesn’t know him…

The fact, the world is deeply indebted to him….

Setelah sejak beberapa tahun belakangan berjuang keras melawan penyakit jantung yang dideritanya, akhirnya pada Sabtu, 18 Nopember 2006, pukul 13.45 WIB laki-laki berusia 63 tahun itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia adalah Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi, pimpinan Dayah Tgk Chiek Tanoh Abee, Seulimuen, Aceh Besar.

Abu Tanoh Abee, demikian ia biasa disapa, memang bukan seorang tokoh nasional apalagi internasional terkemuka, meski ia tetap dianggap sebagai ulama besar di Tanah Rencong. Tapi bagi dunia pernaskahan khususnya, ia telah meninggalkan jasa yang luar biasa besar. Selama puluhan tahun ia menjadi semacam “kuncen” yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3.500 teks-teks kuno keagamaan dalam bentuk manuskrip. Jumlah naskah koleksi Dayah Tanoh Abee ini diduga sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.

Berkat jasa dan ketekunannya dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, terutama yang diperoleh dari sanak familinya, kini dunia keilmuan masih bisa menyandarkan informasinya pada sumber-sumber lokal yang “genuine”, khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan sosial intelektual keagamaan di Aceh sejak abad ke 16. Hingga kini, naskah-naskah tersebut tersimpan di Dayah Tanoh Abee yang diasuhnya, meski dengan standar perawatan yang belum maksimal.

Keberadaan naskah-naskah Tanoh Abee ini menjadi semakin terasa penting terutama setelah hancur dan musnahnya beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah, seperti Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.

Tentang Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi

Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.

Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan oleh keturunan Shaikh Fairus ini tergolong “unik” karena tidak melalui Shaikh Abdurrauf Ali al-Jawi, yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya.

Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orang tua dari Abu Dahlan misalnya, disebutkan bahwa Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Shaikh Abdul Wahhab, dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Shaikh Muhammad As‘ad Tahir, dari Shaikh Muhammad Said Tahir, dari Shaikh Mansur Badiri, dari Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani, dari Shaikh Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Shaikh Mula Ibrahim al-Kurani dan Shaikh Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia (Fathurahman 1999).

Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, saya masih terngiang ungkapan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu, bahwa ia sesungguhnya tidak yakin siapa yang akan menggantikannya jika suatu saat ia tutup usia. Ia hanya berpesan bahwa khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama.

Dulu ia memang cenderung protektiv terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi Dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut, yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak “mengganggu” pusakanya, selain juga karena pengalaman pahit adanya “tangan-tangan jahil” yang tidak bertanggung jawab ketika diberi kesempatan mengakses naskah-naskah tersebut.

Namun kini, khususnya setelah ia melihat kenyataan musnahnnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama.

Abu Dahlan pun belakangan tidak segan-segan memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke Dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekalipun.

Beruntung saya pernah menjadi saksi, betapa judul-judul naskah yang disimpan Abu Dahlan merupakan kitab-kitab keagamaan yang sangat penting, khususnya dalam konteks tradisi dan wacana intelektual Islam di Aceh sejak abad ke 16.

Atas perubahan sikap yang diperlihatkan oleh Abu Dahlan ini pula, berbagai pihak pun mulai bersedia bekerja sama untuk melakukann pemeliharaan atas naskah-naskah tersebut.

Bahkan, saat ini, di atas tanah milik Abu Dahlan sendiri sedang dibangun perpustakaan manuskrip atas dukungan dana dari Cultural Emergency Response (CER) Prince Claus Fund, Belanda. Pembangunan itu sendiri merupakan salah satu upaya yang diprakarsai oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Aceh (lihat tulisan lain: “The Cultural Emergency Relief Action: The Rebuilding Manuscript Library in Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar” di bawah Label: Unpublished Conference Articles).

Akhirnya, selamat jalan Abu, semoga segala jerih payahmu menjadi amal baik di alam baka, dan dedikasimu dapat diwarisi oleh generasi berikutnya.

Syeikh Abdur Rauf; The Great Muslim Saint of Atjeh

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS
Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Bentara.

Ungkapan ini dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Salah satu isinya menyiratkan tentang hukum yang berhulu pada Syiah Kuala, yakni Syeik Abdurrauf.

Aburrauf merupakan salah seorang ualama pemikir dan penulis ternama di Aceh. Ia menduduki jabatan sebagai Mufti, yakni penasehat agung beberapa raja secara pada masa kerjaan Aceh. 2 September 1961 lalu, namanya ditabalkan sebagai nama universitas negeri pertama di Aceh; Universitas Syiah Kuala.
Archer, salah seorang sejarawan barat dalam bukunya “Muhammadan Mysticim in Sumatra” menyebut Syeikh Abdurrauf sebagai The Great Muslim Saint of Atjeh, Now Better Known by the Name of Teuku Syiah Kuala.

Syeikh Abdur Rauf atau lebih dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala, lahir di Aceh Singkil pada tahun 1592 Masehi atau 1001 Hijriah. Ia pertama kali mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Syeikh Ali Fansuri pendiri Dayah Suro Lipat Kajang di Simpang Kanan, Aceh Singkil.

Setelah mendapat bekal agama yang cukup dari ayahnya, ia hijrah ke Pasai dan belajar di Dayah Blang Pira. Dari Pasai ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab untuk lebih memantapkan pengetahuannya.

Selama 20 tahun di Jazirah Arab, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, mulai dari Mekkah, Masinah, Yaman, Baitul Makdis, sampai ke Istambul (Turki). Ia belajar dari satu ulama ke ulama lain. Karena itu pula, ia saat kembali ke Aceh ia berhak memakai gelar Syeikh.

Setelah memantapkan pengetahuannya di Arab, ia kembali ke Aceh, dan sampai di Bandar Kerjaan Aceh pada tahun 1661 Masehi atau 1071 Hujriah. Saat itu suasana keagaam di Aceh telah kacau akibat pertentangan dua ulama besar, Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.

Tak mau terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Pelabuhan Aceh, Syeikh Abdur Rauf menyamar sebagai nelayan. Saat tiba di Aceh tak ada yang mengenalnya. Masyarakat di sekitar Pelabuhan dan pesisir kerjaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdur Rauf sebagai pawang pukat.

Namun, itu tidak berlangsung lama. Lambat laut masyarakat mengenal Syeikh Abdur Rauf yang asli sebagai ulama, ahli dakwah, tabib yang mahir, pendamai yang bijaksana, dan ahli tata negara. [iskandar norman

Ar Raniry Dalam Literatur

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

Syeikh Nurruddin Ar-Raniry ber¬nama lengkap Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia me¬rupakan se¬orang sarjana India ber-kebangsaan Arab, lahir di daerah Ranir (sekarang Rander) sua¬tu Bandar dekat Surat di Gujarat, India.

Ranir sa¬¬at itu meru¬pakan sebuah kota pela¬buhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh ber¬bagai bang¬sa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.

Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University. Belanda.



Kemudian ada lagi G.W.J. Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini ke¬mudian diikuti oleh rekan sebangsanya C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas tentang per¬tentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fan¬suri yang menyebarkah faham Wujudiah.

Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry di¬ha¬bis¬kan untuk mempelajari Islam di daerah¬nya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia ber¬guru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan stu¬di¬nya ke Tarim, Arab Selatan.

Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah un¬tuk menu¬naikan ibadah haji. Di Arab, ia terus mem¬per¬dalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesem¬patan itu juga digunakannya untuk mem¬pelajari bahasa Melayu. Setelah me¬mantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.

Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perda¬gangan dengan orang Islam, Portugis me¬lakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.

Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di bidang per¬dagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih oleh mereka.

Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.

Tapi sebelumnya, pada masa pe¬merintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung Melayu.

Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.

Kitab-kitab tersebut kemudian di¬perbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan pena¬sehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.

Tapi tak mudah baginya untuk membawa faham Syafii ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah berkembang faham Wujudiah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin Ar-Raniry menentang keras faham Wujudiah kala itu. menurutnya ajaran Hamzah Fansuri tersebut merupakan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. [iskandar norman]

Konseptor Aceh Lhèè Sagoë

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai mufti Kerajaan Aceh. Sebelum jabataban sebagai penasehat agung kerajaan itu dipegangnya, ia kembali ke Singkil, serta tiga tahun mengembara ke seluruh Aceh dan pantai barat Sumatera.

Dalam suatu perayaan mauled Nabi Muhammad SAW di Kerajaan Aceh. Syeikh Abdur Rauf yang sudah dikenal saat itu, diundang ke Keraton Darud Dunia. Ia datang dengan identitas sebagai nelayan, tanpa memperlihatkan pengetahuannya sebagai seorang ulama.

Langkah itu dilakukan untuk tidak terlibat dalam perselisihan antara Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.



Karena sudah mendengar tentang kehebatan Syeikh Abdur Rauf, akhirnya sultanah Aceh, Ratu Safiatuddin memintanya untuk menyampaikan ceramah maulid. Ia pun menyampaikannya dengan fasih. Ceramahnya mendapat perhatian yang luar biasa.

Ratu Safiatuddin tidak percaya kalau Syeikh Abdur Rauf hanya seorang nelayan biasa. Setelah ditanyai berbagai hal, akhirnya Syeikh Abdur Rauf pun memperkenalkan dirinya yang asli sebagai ulama, sekalian pamit untuk kembali ke kampung halamannya di Aceh Singkil.

Tak lama di Singkil, Syeikh Abdur Rauf melanjutkan perjalanannya ke Barus dan wilayah pantai barat Sumatera. Setelah itu ia kembali ke Bandar Kerjaan Aceh. Dalam perjalanan kembali ia juga sempat menjelajah pantai timur Kerjaan Aceh.

Pengebaraannya mengelilingi Kerjaan Aceh dan pantai barat Sumatera itu menyita waktu sampai tiga tahun. Dalam perjalanannya itu, Syeikh Abdur Rauf berdakwah dari satu daerah ke daerah lainnya.

Pada masa mengembara, baik ketika 20 tahun di Jazirah Arab maupun di Aceh, Syeikh Abdur Rauf selain berdakwah juga menulis berbagai kitab. Ratu Safiatuddin beberapa kali mengirim utusan untuk menjemputnya.

Ratu Safiatuddin bermaksud mengangkat Syeikh Abdur Rauf sebagai Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan. Jabatan tersebut saat itu telah kosong, setelah ditinggalkan Syeikh Nurruddin Ar Raniry yang kembali ke negerinya di Gujarat, India pada tahun 1658 Masehi atau 1068 Hijriah. Baru pada bulan Rabiul Awal tahun 1075 Hijriah atau 1665 Masehi, Syeikh Abdur Rauf resmi diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan Aceh.

Jabatan itu dipegangnya selama empat periode pergantian raja di Kerajaan Aceh, yakni : Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Johan Berdaulat (1050 – 1086 H/1641 – 1675 M), Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086 – 1088 H/1675 – 1678 M), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 – 1098 H/1678 – 1688 M), serta Sultanah Sri Ratu Keumalatuddin Syah (1098 - 1109 H/1688 – 1699 M).

Sebagai Mufti, berbagai terobosan dan perombakan sistim pemerintahan dilakukan Syeikh Abdur Rauf. Berbagai usaha yang hendak menumbankan dinasti ratu dengan pengaruh Syeikh Abdur Rauf dapat dipatahkan.

Usaha kelompok yang ingin merebut pimpinan kerajaan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Zaqiatuddin. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah.

Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif, Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan sistim pemerintahan kerajaan.

Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.

Sepanjang hidupnya, Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai negarawan, ulama, politikus dan pengarang berbagai kitab. Mufti kerjaan Aceh itu wafat pada 23 Syawal 1106 Hijriah atau tahun 1695 Masehi. [iskandar norman]

Monumen Cot Plieng Ingatkan Semboyan Ulama Aceh Utara

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

“Talet Bui, Tapeutamong Asei”

Tugu Cot Plieng, saksi sejarah melawan Jepang.

Monumen Cot Plieng, terletak di pinggir jalan negara Medan -Banda Aceh, sekitar 12 kilometer arah timur kota Lhokseumawe. Lokasi ini termasuk dalam wilayah Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

Di sini, dulu terjadi peristiwa heroik para ulama Aceh Ut ara, menentang kerjasama dengan Jepang, sampai-sampai lahirnya semboyan. “Talet bui, tapeutamong asei.” (Bahasa daerah Aceh-red). Artinya, mengusir babi, menerima anjing. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, Waspada menjadikan nara sumber Prof. A. Hasjimy (almarhum), sesuai buku “Semangat Merdeka” yang sejarah ini disusun beliau semasa hayatnya.



Secara umum, ketika itu ulama di Aceh terbagi dalam dua komponen. Pertama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang disebut dengan ulama muda, sedang komponen kedua. Yaitu, ulama non PUSA yang disebut dengan ulama tua (Abu) yang kesemuanya pimpinan dayah/pesantren. Ulama muda melawan Jepang dengan politik, sementara ulama tua melawan Jepang, dengan oposisi keras atau perlawanan bersenjata yang cukup memusingkan Jepang untuk menghadapinya.

Reaksi ulama tua ini sangat membantu perjuangan politik ulama muda (PUSA), dalam rangka mendesak Jepang agar memberi kesempatan yang luas kepada para ulama untuk duduk seiring di dalam pemerintahan. Ini siasat (politik), atau langkah awal ke arah perebutan Indonesia ini dari tangan penjajah.

Perjuangan PUSA berhasil, dengan uluran Jepang memberi hak kepada ulama untuk membentuk Mahkamah Syariah seluruh Aceh, termasuk personil Pengadilan Negeri (PN) diisi para ulama. Juga para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam, diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketenteraman Gyugun dan Tokubetsu.

Ulama tua di Aceh Ut ara yang terkenal namanya, Tgk.Abdul Jalil, asal Buloh Blang Ara, sangat agresif melawan Jepang. Ia (ulama kharismatik) jebolan beberapa dayah terkenal di Aceh, lalu pulang ked ayah Cot Plieng (Bayu) pimpinan Tgk. Ahmad yang akhirnya kawin dengan salah seorang putri Tgk. Ahmad (Tgk. Asiah), sekaligus pimpinan dayah ini diserahkan kepada Tgk. Abdul Jalil, dengan panggilan akrab Tgk. Chik.

Tgk. Abdul Jalil dan kawan-kawan secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang, dengan seruan jihad fisabilillah dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Akhir tahun 1942 dakwah diam-diam itu berubah jadi terang-terangan. Dakwah ini cepat tersulut, karena sikap Jepang yang kejam, kasar dan biadab turun perintah kirei (hormat) kepada Tenno Haika dengan menghadap ke timur.

Semangat jihad yang sudah mengkristal ini diketahui oleh intelijen Jepang, lalu merekapun berupaya untuk memadamkan api lewat Hulubalang (Ampon-ampon), aparat mereka dari jenis suku Aceh, disebut Gunco (wedana) dan Sonco (camat). Jepang pun dengan akal bulusnya membujuk ulama muda dari organisasi PUSA untuk melakukan dakwah tandingan, melawan dakwah Tgk.Abdul Jalil, tapi PUSA dengan berbagai siasat menolak.

Gagalnya upaya ampon-ampon (Hulubalang) untuk membujuk Tgk. Abdul Jalil, akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas Tgk. Abdul Jalil bersama para pengikutnya, dengan cara mengirim pasukan militer Jepang dalam jumlah besar ke Bayu, 6 November 1942 sekaligus kubu pertahanan, mengepung dayah Cot Plieng. Singkat cerita, pertempuran sengit terjadi hari itu sampai pada sore hari Tgk. Abdul Jalil bersama pengikutnya menyingkir ke pedalaman.

Dalam perjalanan mundur sambil menyusun kekuatan, ulama besar ini singgah di Meunasah Baro, berhenti di Desa Alue Badee. Jumat, 9 November 1942 (tiga hari kemudian), Tgk. Abdul Jalil turun ke Desa Meunasah Blang Buloh, 10 kilometer dari Bay u untuk melaksanakan shalat Jumat.

Di sinilah terjadi pertempuran cukup dahsyat (usai shalat Jumat), sampai terjadi satu lawan satu dengan pedang dan rencong. Demikian pula Jepang, melawan Teungku dengan senjata tajam, karena semangat para pahlawan ulama cukup membara dan meradang menerjang dengan pekikan Allahu Akbar, sehingga Jepang tidak mungkin lagi menggunakan senjata api.

Pada pertempuran ini, sekitar 109 orang mujahid Aceh syahid. Juga di pihak Jepang, tidak kurang pula dari angka tersebut karena pertempuran heroik satu lawan satu, dengan logikanya, seberapa pahlawan Aceh yang syahid demikian juga serdadu Jepang yang mati.

Tgk. Abdul Jalil ikut syahid dalam pertempuran ini, dengan rekan-rekan lainnya yang terkenal dalam catatan sejarah, antara lain Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Badai, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Muda Yusuf dan Tgk. Nyak Mirah.

SEJARAH GAYO (KEKEBEREN): Kerajaan Linge, Kerajaan Islam Pertama Di Aceh

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS
Berikut ini rekaman wawancara tentang Kekeberen / Sejarah Gayo (Khususnya) dan Aceh (umumnya), yang disampaikan oleh Alm. Tengku Hadji Ilyas Leube disuatu malam pada tanggal 26 Oktober 1976.

Dari rekaman berformat mp3 (56,9 MB) yang berdurasi 121 menit 18 detik ini, kita akan mengetahui secara detail cerita tentang asal usul suku Gayo. Mulai dari kisah Kerajaan Linge yang dipimpin oleh Raja Genali, seorang raja beragama Islam, yang berasal dari Rum (Turki). Beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Kawe Tepat (oleh orang Aceh) atau Tengku Kik Betul (sebutan oleh orang Gayo). Termasuk kisah perjalanan dari masing-masing keturunannya, mulai dari Raja Linge yang Pertama hingga keturunan Raja Linge ke 17.

Dalam rekaman ini juga mengisahkan bagaimana Tengku Abdullah Kanaan (berasal dari Arab) bersama 300 muridnya (termasuk Tengku Johansyah, putra Raja Linge ke I ) menyebarkan Islam dari Wih Ben (Bahasa Gayo) atau Bayeun (Bahasa Aceh) ke Pereulak, kemudian Linge, Angkup, Tamar, Geulumpang hingga ke wilayah Kerajaan Kute Reje di Blang Krak Sibreh.



Menurut Alm. Tengku Ilyas Leube, cerita Kekeberen (Sejarah Gayo) ini diperoleh dari Kakeknya, selain itu juga hasil penyelidikan oleh Alm. Tengku M.Yunus Jamil, yaitu seorang Ahli Sejarah Gayo dan Aceh, yang pernah tinggal di Ulee Lheu.

Dari cerita yang dibagi 2 sesi ini, dikatakan bahwa Kerajaan Linge (di Buntul Linge, Tanah Gayo) lebih dulu mengenal Islam daripada kerajaan-kerajaan di Aceh. Disebutkan juga Raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan Raja Linge. Seperti Meurah Silu adalah Sultan Malikussaleh (dalam bahasa arab), dia merupakan Orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara dan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama yang memimpin Kesultanan Kute Reje.

Setelah mendengarkan potongan cerita ini, kita juga akan mengetahui (bagi yang belum pernah dengar/mengetahui), apa yang tertulis pada Bendera milik Kerajaan Linge. Tidak hanya itu, beberapa hal lainnya seperti kisah pertempuran antara Kerajaan Pereulak dengan Kerajaan Sriwijaya selama 20 tahun, kenapa negeri Isaq tidak boleh disebut Isak (pakai huruf K), apa arti dan makna kata Gayo (dalam beberapa versi), awal mula fungsi Guel Canang, benarkah marga Ginting Pase (sebuah marga yang minoritas dan terasing di Tanah Karo) adalah keluarga dari Kerajaan Pase yang keluar dari Lhokseumawe karena tidak mau masuk islam, Siapakah wanita terbaik Aceh yang berasal dari Tanah Gayo, hingga mengapa semua Raja-raja di Aceh harus “ber-abang” (tutur abang) kepada Raja Linge.


Kemudian, apa yang membuat kerajaan Aceh mengirimkan 801 buah armada Kapal Perangnya (termasuk Armada Cakra Donya) dan mau membantu Malaysia (malaka) bertempur melawan Portugis? Dan apa hadiah yang diberikan Sultan Johor kepada Raja Linge ke 12, setelah sukses memimpin pasukan dalam menaklukkan Portugis? Lalu benarkah Gajah Putih yang selama ini disebut-sebut sebagai jelmaan Bener Merie (Bener Meriah, saat ini menjadi salah satu nama Kabupaten di Aceh) hanya berawal dari Gambar seekor Gajah yang dilihat oleh Puteri dari sebuah Goresan Kapur Mangas, yang ditulis oleh Sengeda diatas Pelepah Pinang yang terletak pada pagar Istana? Darimana asal nama Daerah Timang Gajah (di Bener Meriah) dan Sigli serta kaitannya dengan proses pencarian Gajah Putih? Serta Bagaimana hubungan antara Gayo, Karo dan Aceh serta daerah-daerah disekitarnya pada saat itu?

Semua jawaban dan penjelasan akan anda dapatkan setelah mendengarkan rangkaian Cerita berbahasa Gayo yang disampaikan oleh Seorang Ulama, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Perjuangan keturunan Raja Linge yang berasal dari Tanah Gayo ini.

Untuk mendengarkan klik disini atau jika ingin download disini

PT Arun Ekspor 43 Kargo LNG Ke Jepang dan Korsel

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS

LHOKSEUMAWE - AER
PT Arun melepaskan kapal tangker Hanjin Pyeong Taek yang membawa LNG dari Aceh Utara ke Jepang dan Korea Selatan sebagai penutupan tahun 2008, Rabu (31/12). Jumlah LNG yang diekspor tahun 2008 ke Jepang dan Korea Selatan sebanyak 43 kargo. Namun, yang dikirim hanya 42 kargo, karena satu kargo lagi atas permintaan dari pihak pembeli akan dikirim pada bulan Januari 2009.

Dengan ekspor yang terakhir ini, PT Arun telah mengirimkan LNG ke Jepang dan Korea Selatan sebanyak 4.142 kargo (kapal). Tanker yang dikendalikan Capten Mr Cha Myeong Soo dan Mr Cho Yu Jeong (Chief) itu dilepas Walikota Lhokseumawe, Munir Usman. Saat memutuskaan tali ikatan kapal tersebut. Walikota turut didampingi Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Eko Wiratmoko, dan President Direktur PT Arun, H Fauzi Husin.

Untuk tahun 2009, PT Arun menargetkan ekspor 42 kapal LNG. Namun, karena pertimbangan untuk kebutuhan PT PIM dalam menyalurkan pupuk kepada petani Aceh, sebanyak tiga kapal disisihkan untuk kebutuhan industri lokal, sesuai kontrak yang telah ditangani. “Karena itu, PT Arun berkewajiban mengapalkan sebanyak 39 kargo,” ujar Fauzi.

Dengan makin menurunnya jumlah produksi gas, lanjutnya, akan berdampak pula pada penurunan anggaran yang dialokasikan produser untuk biaya operasional. Karena itu, menurut Fauzi, mengharuskan manajemen untuk melakukan upaya efisiensi dengan mengkaji ulang aktivitas operasional sesuai besarnya anggaran tersedia.

Demikian pula dengan kondisi kilang makin tua dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Hal tersebut merupakan tantangan berat bagi tim management dan pekerja. Karena itu, Fauzi meminta segenap karyawan perusahaan agar dalam saling mendukung dan terkait. Walaupun kondisi kilang kian tahun makin menurun, tambah Fauzi, namun perusahaan terus melakukan dan pendekatan dengan masyarakat lingkungan sejauh anggarannya masih tersedia.

Sementara Munir Usman mengakui masyarakat yang menetap di lingkungan PT Arun tidak merasakan kebahagiaan sebagaimana yang dirasakan oleh pihak perusahaan itu. Hal tersebut, katanya, disebakan karena keluarga PT Arun bekerjasana dengan warga lingkungan, sedangkan masyarakat tidak bekerja di tempat itu.

Tak ada bantuan

Sementara beberapa tokoh masyarakat di lingkungan PT Arun yang dalam katagori desa binaan, membantah pernyataan Presiden Direktur perusahaan banyak membangun rumah duafa. Kenyataan itu tak sesuai dengan kondisi di lapangan,

Geuchik Meuria Paloh, Muhammad Yusuf mengatakan, kepedulian perusahaan Arun terhadap lingkungan selama ini sangat tidak ada, padahal beberapa desa binaannya sangat diharapkan, kalaupun ada hanya sebatas bantuan kecil yang tidak dapat digunakan. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini kurang singkron antara staf PTA dengan masyarakat lingkungan.(Serambinews.com)

Pelangi

Posted by Aceh-Online On January - 6 - 2009 ADD COMMENTS
Informasi Kontak alamat / lokasi
Jl. mohd Jam, Banda Aceh
telp. 0651-24095
Kabupaten Kota Banda Aceh
Jenis Transport Bus

Recent Comments

There is something about me..

Recent Comments

Latihan Perdana Persiraja tanpa Pemain Asing

On Jan-6-2009
Reported by Aceh-Online

Wisata alam Aceh “Pulau Weh”

On Jan-6-2009
Reported by Aceh-Online

Pantai Ujong Blang Lhokseumawe

On Jan-6-2009
Reported by Aceh-Online

BUDAYA DAN WISATA ACEH

On Jan-6-2009
Reported by Aceh-Online

Recent Posts