Syeikh Abdur Rauf; The Great Muslim Saint of Atjeh
Ungkapan ini dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Salah satu isinya menyiratkan tentang hukum yang berhulu pada Syiah Kuala, yakni Syeik Abdurrauf.
Syeikh Abdur Rauf atau lebih dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala, lahir di Aceh Singkil pada tahun 1592 Masehi atau 1001 Hijriah. Ia pertama kali mendapat pendidikan agama dari ayahnya, Syeikh Ali Fansuri pendiri Dayah Suro Lipat Kajang di Simpang Kanan, Aceh Singkil.
Setelah mendapat bekal agama yang cukup dari ayahnya, ia hijrah ke Pasai dan belajar di Dayah Blang Pira. Dari Pasai ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab untuk lebih memantapkan pengetahuannya.
Selama 20 tahun di Jazirah Arab, ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, mulai dari Mekkah, Masinah, Yaman, Baitul Makdis, sampai ke Istambul (Turki). Ia belajar dari satu ulama ke ulama lain. Karena itu pula, ia saat kembali ke Aceh ia berhak memakai gelar Syeikh.
Setelah memantapkan pengetahuannya di Arab, ia kembali ke Aceh, dan sampai di Bandar Kerjaan Aceh pada tahun 1661 Masehi atau 1071 Hujriah. Saat itu suasana keagaam di Aceh telah kacau akibat pertentangan dua ulama besar, Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.
Tak mau terlibat dalam pertentangan itu, saat tiba di Pelabuhan Aceh, Syeikh Abdur Rauf menyamar sebagai nelayan. Saat tiba di Aceh tak ada yang mengenalnya. Masyarakat di sekitar Pelabuhan dan pesisir kerjaan Aceh hanya mengenal Syeikh Abdur Rauf sebagai pawang pukat.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Lambat laut masyarakat mengenal Syeikh Abdur Rauf yang asli sebagai ulama, ahli dakwah, tabib yang mahir, pendamai yang bijaksana, dan ahli tata negara. [iskandar norman